Cerpen: Anti Hujan

Daftar Isi


    Foto: Ilustrasi hujan 

     

    Lancang Kuning - Betapa manisnya jambu madu yang tengah bermusim. Buahnya lebat. Dagingnya montok. Warnanya begitu menggoda, merah merekah. Nikmatnya, aduhai. Membayangkan keelokan buah jambu yang tengah ranum, sama halnya membayangkan dua buah nama tertera dengan manisnya di sebuah kartu undangan. Ditambah lagi hiasan kartu itu diberi ornamen-ornamen penuh warna dan bunga. Alangkah senangnya hati ketika kartu itu berisi nama sendiri bersanding dengan namanya yang didamba. Beginilah gambaran perasaanku hari ini. Menggelora. Berlama-lama kupandangi kartu yang bertuliskan namaku dan namanya sebagai calon sepasang pengantin. Sebagaimana hiasan pada kartu itu, sama, hatiku juga sedang berbunga-bunga.


        Pernikahan begitu indah dalam episode perjalanan hidup sebagian orang. Terlebih bagi seorang wanita polos sepertiku. Aku tak pernah tahu sejak kapan aku mengawali penantianku. Yang kutahu, penantian ini telah menemukan ujungnya. 
    Aku terpukau pada sosok sang pangeran yang memintaku dengan cara baik-baik pada kedua orang tuaku. Menurutku dia memiliki pribadi gagah perkasa. Tanpa rasa ragu, ia yakin bahwa akulah sebagai rusuk kiri yang ia minta pada-Nya. 

    “Sebagaimana letak tulang rusuk, dekat dengan tangan untuk dilindungi dan dekat dengan hati untuk dicintai,” ucapnya saat acara pinangan bulan lalu. 
    Tak terkira bahagianya hatiku. Inikah cinta merah jambu? 
        “Cieh,,, yang lagi bahagia. Ehem!” goda sahabatku saat memergokiku sedang larut dalam khayalan saat menunggu perias pengantin tiba.


        “Nggak kok.”
        “Tuch wajahnya memerah tomat lho.”
        Hari yang dinanti pun tiba. Kututup syahdunya subuh dengan doa. Berharap Allah memberi keberkahan atas pernikahanku. Kupandangi seisi kamar. Di setiap dindingnya telah terpasang indah hiasan-hiasan pelaminan. Demikian halnya dengan tempat tidur pemberian orang tuaku ini, telah berganti alas berbahan semi sutera berenda. Cantik sekali. Kulihat setiap ruas jariku, merah merona seperti hatiku. 
        Tok..tok..tok..


        Terdengar suara pintu diketuk. Setelah kuncinya kubuka, seorang gadis berkerudung biru memasuki kamarku. Ternyata tukang rias pengantin. Tak perlu waktu lama, gadis itu telah mendandaniku dengan sempurna. Bibir telah berpoles lipstik berwarna teduh. Layaknya ratu sehari, aku juga didandaninya dengan pakaian adat Batak Mandailing. Bulang yang merupakan hiasan kepala pengantin wanita Batak Mandailing telah terangkai indah di kepalaku. Beberapa keluarga yang masuk ke dalam kamar berceloteh sebagai ungkapan terkesima melihatku.
        “Jeges nai (cantik sekali).” 
    Pengakuan beberapa saudara dekat dan tetangga yang sengaja diam-diam masuk kamar tanpa izin terlebih dahulu. Kata mereka, penasaran melihat penampilanku hari ini.
        Seorang ibu separuh abad memasuki kamarku. 
        Lalu, ia berbisik padaku,”Butet, tadi mandi pagi kau, Butet?” tanyanya khas dengan logat Medan.
        “Iya, Bou (Bibi),” jawabku singkat.
        Dalam benakku sudah terasa tidak enak. Perempuan yang kupanggil Bou tadi pasti akan marah dengan kejujuranku.


        “Macam mana kau ini? Sudah tau pun kau kalau adat kita di sini mengajarkan kalau calon pengantin wanita tidak boleh mandi menjelang pesta. Lupa kau, Butet?” marahnya padaku.
        Untungnya suara amarahnya tertahan. Jika tidak, bisa runyam hari spesial ini. Bou-ku sudah menasihatiku seminggu yang lalu agar ikut perintahnya. Hampir setiap hari diingatkan olehnya agar aku tidak sampai lalai pada pesannya. Aku hanya katakatan iya agar tidak berpanjang lebar dengannya.
        “Butet nggak lupa, Bou,” jawabku singkat. Aku malas berbantah-bantah dengan perempuan ini karena sifatnya memang begitu. Kecintaannya terhadap adat budaya di daerah ini sering membuatnya lebih memilih putus hubungan silaturrahim  dengan orang-orang yang dia anggap durhaka terhadap adat istiadat.
        “Satu lagi, mana CD (Celana Dalam) yang kau pakai hari ini? Biar dibuang ke atas seng,” paksanya.
        “Hah,” aku terkejut bukan main.


        “Nggak usah, Bou! Nggak perlu!” bantahku menahan emosi.
        Perias yang masih membereskan peralatan make up yang berserakan, hanya terdiam mendengarkan perdebatan kami. Untung saja hanya ada kami bertiga di dalam kamar. Jika tidak, betapa malunya aku.
        “Jangan membantahku, Butet! Kau tahu fatal akibatnya jika kau tidak ikut kataku. Atau kau mau kalau pestamu ini diguyur hujan lebat? CD-mu yang kau pakai tadi malam itulah penangkal hujan. Dan kebiasaan ini sudah turun-temurun dari nenek moyang kita dulu!”

        Aku tahu, banyak calon pengantin melakukan hal konyol ini menjelang pesta pernikahannya. Akan tetapi, aku tidak percaya dengan hal-hal syirik seperti itu. Makanya aku bersikukuh dengan pendirianku. Bibirku manyun, hatiku dongkol. Perempuan di depanku ini juga dongkol padaku.
        “Butet nggak percaya itu, Bou!” ucapku.
        “Jadi, kau mau semua tamu basah dan pesta ini bubar karena hujan?” marah Bou-ku masih dengan logat Bataknya yang kental.


        “Bou, perkara hujan atau tidak, itu sudah ada pada ketentuan Allah. Tidak ada yang bisa mencegahnya apalagi menangkalnya dengan kegiatan syirik seperti ini. Sekali melakukannya, maka sekali itu pulalah akidah akan melenceng dari syariat,” jawabku kesal.

        Aku menatap wajahku yang sudah cantik di depan kaca lemari hias ini. Aku merasa kecantikanku hari ini pudar karena suasana hati yang tak menentu.
        “Terserah kaulah, Butet! Jugul kali kau dikasi tau!” ia pun berlalu dari kamarku. Segera kuusap dua titik air mataku. Kudengar samar-samar, calon suamiku telah tiba bersama keluarganya di kediaman orang tuaku.
        Beberapa orang teman masa gadisku membawaku keluar dari kamar menuju ruangan tempat berkumpulnya para tamu. Aku dipersilakan duduk di samping calon suamiku. Aku mengintip wajahnya yang tampan dengan ujung mataku. Terlihat segaris senyuman merona di wajahnya. Hatiku yang tadi kacau, mulai berbinar kembali.

        Ijab qabul berjalan lancar. Mitsaqan Ghalizhan telah terucap. Maka, inilah perjanjian kedua setelah syahadat yang menjadikan bergetarnya arsy. Alhamdulillah, aku resmi menjadi seorang istri. Kupeluk ayah ibuku dalam dekapan tangis yang mengharu biru. Berat rasa hatiku mengungkapkan betapa aku sangat mencintai keduanya. Kewajiban ayahku dalam membimbingku, menjagaku, dan mendidikku hingga ke syurga  telah beralih pada kewajiban suamiku.
        Ucapan barakallahu laka wa baraka ‘alaika wa baina jam’akuma fi khair mengalir dari lisan para undangan. Sebuah doa terindah bagi para pengantin baru karena harapan dari sebuah pernikahan adalah keberkahan dalam rumah tangga. Tak terhingga ramainya tamu yang hadir, baik dari kalangan keluarga, kaum kerabat, orang tua, serta teman-temanku. Betapa bahagianya aku. Bunga-bunga yang merekah menghiasi pelaminan seakan-akan bermekaran juga dalam hatiku. 

        Ketika memasuki kamar pengantin, karena hendak melaksanakan salat zuhur, tiba-tiba hari yang cerah mendadak mendung. Selepas kutunaikan salat zuhur, suamiku masih berada di masjid. Para undangan mulai terdengar gaduh karena langit semakin gelap. Aku tersentak ketika Bou tiba-tiba memasuki kamarku.
        “Sudah kubilang tadi, tapi Kau nggak percaya! Sekarang buka CD-mu biar kubuang ke atap!” paksanya.
        “Tidak, Bou! Kan di luar tidak hujan. Hanya mendung.” Aku melawan.
        “Kalau sempat hujan, habislah semua!” Bou-ku kesal lalu keluar dari kamar dengan membanting pintu kamarku.


        “Fiuuh.” Aku menghela nafas sambil duduk di sisi tempat tidur. 
        Tiba-tiba pintu terbuka kembali. Aku kaget lagi. Kali ini yang masuk ke kamarku adalah Tulang-ku, adik laki-laki ibuku, bersama istrinya. Apa lagi ini? Tanya batinku.
        “Di luar sudah gelap. Tamu-tamu sudah mulai panik. Sebentar lagi kurasa hujan deras,” ucap Tulangku.
        Aku diam dan mencoba mematung.
        “Ayolah, Butet, serahkan celana dalammu. Kasi sama Nantulang-mu biar hujannya segera kita tangkal,” bujuk rayu lelaki itu.

        “Ayo, Sayang. Nantulang temani ke kamar mandi,” ucap istri Tulang-ku sambil menghulurkan tangannya.
        Aku diam membeku. Air mata yang seharusnya jatuh di pipiku, seakan jatuh membasahi hatiku. aku benar-benar seperti pesakitan yang tengah diadili karena sebuah perkara hebat. Sepenting itukah penangkal hujan bagi keluarga ini? Bukankah hujan itu rahmat? Di saat hujan turun banyak-banyaklah meminta sebab di saat itu adalah waktu yang mustajab. Tapi, orang-orang ini sepertinya memusuhi hujan. Bagi mereka hujan bisa meluluhlantakkan kemeriahan pesta. Seperti tidak ada lagi masalah yang lebih hebat dibandingkan perkara hujan dan penangkal hujan.

        Tidak berselang lama, ibu mertuaku memasuki kamarku. Sepertinya dia juga ingin mempengaruhiku. Ternyata betul. Dia ambil alih posisi untuk menasihatiku.
        “Kenapa kau tidak ikut saja peraturan kami orang tua ini? Pengalaman kami banyak, kau masih anak kemarin sore yang belum merasakan asam garam kehidupan. Kudengar tadi pagi, kau mandi ya? Itu tidak boleh, Butet. Bisa-bisa hujan turun sederas-derasnya dan membikin tamu basah kuyup. Tidak kasian kau melihat tamu-tamu itu. Datang jauh-jauh dari kampung biar bisa melihat pestamu. Tapi, kau biarkan mereka basah karena kehujanan!”

        Aku menggigit ujung bibirku sambil menahan air mataku agar tidak tumpah. Tiba-tiba suamiku memasuki kamar. Ibunya mengadu padanya perihal perilakuku. 
        “Mak, istriku benar. Tidak ada hubungan antara hujan dengan mandi paginya calon pengantin. Apalagi dengan celana dalam bekas calon pengantin? Tidak masuk akal, Mak. Hujan tidak takut dengan semua itu. syirik, Mak!” Suamiku berupaya memahamkan ibunya dengan selemah lembut mungkin sambil duduk berjongkok hampir bersimpuh di kaki ibunya agar ibunya melunak.
        “O, paten kalilah kau rasa, ya? Belum sehari lagi kalian menikah sudah mau pulak kau diatur-atur istrimu. Mau jadi stiur (setir) kiri kau? Biar kau paham, jangan sekali-kali kau tunduk sama istrimu. Bisa-bisa hancur semua rumah tangga kalau sudah istri yang mengatur!” Mertuaku semakin emosi. Suaranya yang menggelegar berpadu dengan suara musik orgen di halaman rumah.

        Hatiku perih sekali. Tak mampu kubendung, air mataku pun jatuh. Seperti inikah nasihat pernikahan itu? Jika tidak sejalan dengan pemikiran orang-orang tua, maka akan dianggap sebagai anak durhaka. Padahal, dalam pernikahan banyak sekali bekal yang harus dipersiapkan selain hanya perdebatan soal penangkal hujan. Pernikahan  itu tidak hanya soal materi, tetapi harus siap dengan bekal ilmu agama. Dengan bekal itu, bisa berpegang teguh dalam kebenaran, bisa saling menguatkan karena cinta sekalipun samudera kehidupan sedang bergelombang. Jika hanya terfokus pada hal-hal yang tidak substansial dalam pernikahan seperti ini, tak heran jika banyak sekali bahtera pernikahan yang karam di saat sedang berlayar. 

        “Byur!” Hujan deras akhirnya turun juga. Orgen yang sedang membawakan lagu Batak Boru Panggoaran tiba-tiba ikut terhenti. Suara di luar terdengar cukup riuh. Perasaanku semakin tertekan. Aku menatap sorot mata tajam mertuaku, bou-ku, tulang-ku, dan nantulang-ku ibarat mata panah yang siap dilepaskan dari busurnya.

        “Betul kan yang kubilang tadi, Butet?” gusar bou-ku padaku.
        “Keras kali kepalamu itu!” sambung tulang-ku.
        “Bukalah sekarang celana dalammu itu. Biar langsung dibuang ke atap rumah!” desak mertuaku.
        “Duh, Mak, celana dalam itu tidak ada hubungannya dengan hujan,” bantah suamiku.
        “Diam kau! Jangan kalian rusak-rusak tradisi yang sudah terjaga ini. Faham kau!” Mertuaku semakin marah. 
      
         Aku menjerit dalam hati. Sebagaimana hujan adalah waktu yang mustajab untuk berdoa, maka kulangitkan doaku setinggi-tingginya. Aku yakin, Allah pasti mendengarku. 
        “Hujan,” ucap ibuku secara tiba-tiba dan mengintip dari pintu kamar.
        Hatiku semakin kacau. Aku takut perselisihan ini semakin runcing. Padahal ibuku tidak tahu apa-apa soal ini. Aku tidak ingin mengecewakan ibuku. Aku tidak rela orang-orang ini menyalahkan ibuku karena sikap kerasku. Oh, Tuhan. Hatiku menjerit.
        Ibuku langsung berlalu saat ayahku memanggilnya untuk menyambut saudara yang baru hadir. Hatiku terasa lega sedikit.
        “Rabb, aku tidak ingin kebenaran ini kalah dengan kesyirikan. Bantu aku untuk menyelesaikan semua kesulitan ini. Berilah hujan yang berkah dan bermanfaat hari ini,” bisik batinku. 
      
     Ajaib. Hanya dalam waktu tiga menit saja, hujan deras itu langsung berhenti. Tanah tidak sampai basah. Tanaman tidak sempat kenyang. Begitu juga dengan pesta hari ini, tidak sampai luluh lantak seperti yang dikhawatirkan oleh orang-orang ini. Tanpa membuang celana dalam bekasku ke atap, hujan tetap bisa berhenti sesuai dengan ketentuan-Nya.
    Orgen tunggal kembali bergema. Orang-orang yang menghakimiku tadi seakan tak bergeming. Mereka tak punya alasan lagi untuk menyalahkan aku. Satu-satu keluar dari kamar pengantin ini. 
    Suamiku menyentuh jemariku sambil menghadiahkan aku segaris senyuman. Lalu, ia mengecup punggung tanganku.

    “Sabar, ya,” ucapnya.
    Hatiku kembali mencair. Perasaanku lega. Pesta berjalan dengan hikmat. Di penghujung acara, kupeluk erat ayahku yang selalu mengajarkanku tentang arti kekuatan. Lalu, kupeluk ibuku, kukecup pipi kanan dan pipi kirinya. Cintanya membuatku tumbuh menjadi wanita istimewa. (LK)

     

    Penulis: Listi Mora Rangkuti – Pendamping Sosial Kemensos RI

    Bagikan Artikel

    data.label
    data.label
    data.label
    data.label
    Beri penilaian untuk artikel Cerpen: Anti Hujan
    Sangat Suka

    0%

    Suka

    0%

    Terinspirasi

    0%

    Tidak Peduli

    0%

    Marah

    0%

    Komentar